Hidup adalah sebuah proses tentang perjalanan waktu. Cerita tentang suatu alur yang membentuk dongeng yang menuntut untuk selalu diteruskan. Narasi kehidupan akan hadir seiring dengan tertatihnya waktu. Keindahan bahasanya sangat tergantung kepada seberapa beraninya kita mengambil langkah untuk berspekulasi dengan ketidakpastian. Hidup adalah juga lagu yang menanti untuk dinyanyikan. Seberapa getirnya lagu tersebut bermelodi, tetap saja tak akan lupa memberimu kejutan tak terduga akan indahnya suatu filosofi.
Hidup juga berarti rentetan suatu
pertanyaan. Seberapa jauhnya dirimu bisa menjawab, tergantung kepada
seberapa jauhnya kamu mulai sadar akan hakikat kehidupan. Mencari dan
terus mencari tahu, bertanya dan terus bertanya-tanya, serta menduga dan
konsisten membuat suatu hipotesis merupakan jembatan untuk mencapai
jawaban itu. Jawaban dari suatu pertanyaan sederhana yang bersumber dari
satu tanda tanya agung.
Ada kalanya jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu terpampang jelas di depan mata. Hadir begitu
dekat sehingga tak perlu buang banyak energi untuk mencari tahu.
Kadang-kadang jawaban itu juga manja sekali untuk dicari tahu. Ia
bersembunyi sebentar agar kita senantiasa bersabar dan menunjukkan
integritas untuk mencarinya. Tantangan terbesarnya adalah mencari yang
tak dapat dicari dan berusaha menemukan yang tak dapat ditemukan. Itu
hanya bisa didapatkan dari proses perjalanan. Perjalanan waktu maupun
perjalanan tempat. Pengalaman.
Hidup juga berarti rangkaian suatu
tanda titik. Banyak sekali titik-titik di bumi ini yang haus untuk
dihubungkan. Dari titik-titik itulah jalan mencari jawaban juga
terbentang. Pertanyaan selanjutnya, jika dunia ini penuh dengan
titik-titik yang runut untuk dihubungkan dan dicari keterhubungannya,
mengapa ada orang yang puas hanya berdiam di satu titik? Kembali
ingatanku diterbangkan kepada memori dari petuah agung sang ulama Imam
Syafi’i tentang indahnya suatu perjalanan, pergerakan. Sebuah hijrah.
“Orang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan
pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup
terasa setelah lelah berjuang.“
Hijrah. Sebuah perjalanan. Banyak
sekali yang akan didapatkan dari rangkaian suatu perjalanan. Jika ada
peribahasa janganlah seperti katak dalam tempurung, maka suatu
perjalanan yang akan membawamu ke dalam relung-relung kehidupan akan
mengajakmu lebih dari sekadar keluar dari tempurung. Kau akan tahu bahwa
apa yang terjadi dalam hidupmu, dalam keseharianmu, dalam kelaziman di
sekelilingmu mungkin saja lebih baik atau bahkan malah lebih buruk dari
apa yang terjadi di tempat lain. Tidakkah kau ingin mencari
mutiara-mutiara kebaikan yang tertanam jauh dari tempat di mana dirimu
tenang bersemayam?
Ah. Rumah tentu saja. Tempat itu
menjanjikan ketenangan dan kenyamanan kehidupan. Tapi, tak pernahkah
terlintas di benakmu, bahwa tanda tanya agung juga memberikan PR bagi
kita untuk menyadari bahwa dalam suatu ketenangan hidup seringkali
tersimpan kehidupan yang melenakan ingatan. Dalam suatu air yang tenang
tak ubahnya menyimpan tenaga yang menghanyutkan. Rumah memang suatu zona
aman. Tempat berteduh maupun berkembang biak. Menurunkan
ketenangan-ketenangan yang akhirnya menjelma kesalahan beruntun
berkesinambungan. Menuju kesalahkaprahan.
rindu. aku ini memang selalu rindu untuk pulang. tapi saban kali juga tak betah. petualang sekaligus pencinta rumah
Sebuah dilema menjadi seorang
pejalan jauh. Aku lebih suka menyebutnya demikan untuk mewakili
petualangan-petualangan kecil yang kulalui demi mencari jawaban atas
tantangan dan pertanyaan kehidupan. Di satu sisi, rumah menawarkan
kerinduan yang mencandu. Di saat yang lain, rumah serupa kebosanan yang
merengek untuk segera ditawarkan. Rumah mengingatkan kita semua akan
suatu kegundahan-kegundahan di masa depan. Dilema menjadi tua dan
segenap permasalahan hidup yang mengikutinya. Namun inilah yang
dinamakan pilihan. Menjadi petualang sekaligus pencinta rumah. Sebuah
proses kehidupan yang layak dipilih dan dipertanggungjawabkan yang
jarang jadi pilihan kebanyakan orang.
demikianlah
musafir: kita takut menjadi tua. namun juga tak pernah bisa kembali
menjadi bayi, menjadi kanak-kanak. kecuali bila kita ciptakan lagi
kelahiran. di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan
Ah, puisi. Selalu saja dirimu lugu
bersolusi. Indah bahasamu seakan menawarkan kerinduanku pada rumah.
Engkau mahir menjadi tongkat penunjuk untuk hati dan imanku yang kadang
goyah untuk menjadi penjelajah. Sesuai dengan ide yang menari-nari di
kepalaku. Bahwa dengan perjalanan yang kulakukan, aku yakin akan
menemukan ilmu-ilmu baru, pengetahuan-pengetahuan yang mencengangkan,
bertemu dengan bermacam-macam orang dengan beraneka latar belakang. Aku
yakin akan menemukan filosofi kehidupan. Memetik pengalaman, membuat
penilaian, menimbang-nimbang rasa kehidupan, hingga menarik kesimpulan.
Menakar suatu nilai maupun mengadopsi suatu pemikiran.
Karena bukan suatu jalan dari
pilihan orang banyak, maka siap-siaplah dirimu dengan konsekuensi yang
akan kau terima dari orang-orang awam yang akan menjadi juri dari
langkah yang kau pilih. Ah, biasa saja. Mereka memang seperti itu.
Jumlahnya mayoritas, mulutnya banyak, dan seringkali mahir
mengolok-olok. Karakter yang hanya cocok untuk satu peran dalam
sandiwara kehidupan. Menjadi penonton. Lalu, jika dirimu seorang
terpelajar, ilmu dan pengetahuan menjadi teman sekaligus sahabat
terbaik, kebiasaan bertanya-tanya dan merayakan kebebasan berlogika
menjadi tradisimu, akankah dirimu mau menjadi pribadi yang tak akan
dikenal oleh siapapun. Manusia yang tertutup oleh jumlah mayoritas dalam
komunitas. Silakan kembali pada iman masing-masing. Hanya hati yang
tahu dan akan berbisik untuk menunjukkan suatu jawaban besar dari
pertanyaan sederhana dalam hidup. Sebuah kenyataan.
Hidup memang jalinan yang
menawarkan pilihan-pilihan. Ke mana hatimu bertaut, di situlah oasemu
bersemayam. Dalam kepalamu tertanam banyak cahaya yang bertahan untuk
membuncah memuntahkan sinar. Begitu pula, terangkum penjara yang
menggiringmu ke arah kepicikan berpikir. Karena itu, ikutilah keinginan
hati untuk melakukan suatu perjalanan.
Merekam tradisi dan pengalaman untuk dijadikan cermin dalam sebuah bingkai rona kehidupan.
Merekam tradisi dan pengalaman untuk dijadikan cermin dalam sebuah bingkai rona kehidupan.
salam bagimu
peziarah muda. hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil yang
dilupakan dunia. ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari
Tidak semua ocehanku layak kau
ikuti. Tidak semua tindakanku layak kau lakukan juga. Aku hanyalah
seorang yang haus akan sebuah perjalanan. Petualangan-petualangan kecil
yang kutemui hanyalah renik dari ketetapan-ketetapan hukum Ilahi dan
pesan yang dikidungkan oleh puisi-puisi. Aku yang mencoba merangkai
pengalaman dalam hidup hanyalah seorang turis yang bertamasya dalam
diri. Demi sebuah pencarian agung dari jawaban yang menggantung di ujung
tanda tanya dari proses kehidupan. Pencarian jati diri.
* Puisi dikutip dari Perjalanan
Pulang karya Joko Pinurbo dalam buku kumpulan puisinya Celana Pacar
Kecilku di Bawah Kibaran Sarung
Jamuan Pedagang Kaki Lima Ala Bangkok Lihat Beritanya Disini!!!
BalasHapus